24 tahun silam, saat Indonesia diterpa krisis
moneter, terjadilah sebuah perubahan sosial dan politik pada periode 1998-1999
yang melahirkan reformasi di negeri ini. Pada periode itu, sistem
ketatanegaraan kita dituding sebagai biang kerok atau mendeknya regenerasi
kepemimpinan sosial serta kepercayaan terhadap pemerintah saat itu berkurang
disebabkan pemerintah tidak memihak pada kepentingan rakyat. Apalagi pemerintah
saat itu dikuasai para militer, sehingga
tidak ada demokrasi saat memerintah. Kemudian, masa reformasi menjawabnya
dengan tiga langkah sekaligus yaitu pembatasan masa kepemimpinan, liberalisasi
politik dan ekonomi, serta amandemen dan konstitusi atau lebih bekennya
terkenal dengan penyebutan 6 agenda reformasi. Secara umum reformasi merujuk
kepada gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden
Soeharto atau era setelah Orde Baru. Reformasi yang telah berjalan lebih kurang
24 tahun ini berhasil memunculkan pelbagai transformasi format berpolitik
dengan varian metodologisnya di sektor ekonomi dan politik. Era reformasi di
Indonesia tidak bisa dipungkiri melahirkan sebuah era demokrasi baru yang
ditandai dengan perubahan substansial dalam proses bernegara.
Lantaran demokrasi yang sudah redup, tepatnya pada
11 April 2022 yang lalu, terjadi kembali aksi demonstrasi akbar yang dilakukan
mahasiswa di depan gedung DPR RI dengan tujuan menyampaikan aspirasi rakyat
yang membawa Indonesia mengalami reformasi yang serupa pada tahun 1998
dipelopori mahasiswa.
Secara ringkas dapat membagi sejarah gerakan bangsa
dalam 4 fase besar. Yang pertama, periode pergerakan nasional (1900-1945);
kedua, periode orde lama (1945-1965);
ketiga, periode orde baru (1965-1998); dan yang terakhir ialah periode
pasca reformasi (1998-sekarang). Semua periode tersebut tentu punya semangat
gerakan dengan orientasi politiknya serta tentu ada variasi dan modifikasi
penerapan demokrasi di berbagai negara, namun subtansinya berupa kedaulatan
rakyat pasti tetap ada, dan tidak mungkin dihilangkan. Maka bagaimanakah
terealisasinya demokrasi sejak reformasi hingga sekarang?
Polarisasi Ala Demokrasi
Tatanan format demokrasi saat ini mengalami
penyesuaian dengan perkembangan teknologi yang masif. Model demokrasi ini
didefinisikan sebagai pemanfaatan teknologi komunikasi guna memajukan
partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi yakni Demokrasi Digital. Namun tampak
hingga hari ini, demokrasi kerap kali memunculkan polarisasi. Terlebih lagi
saat mendekati tahun politik atau pemilu. Sebagian masyarakat yang dapat
melihat yang tersembunyi di balik tembok besar memahami bahwa demokrasi
menyimpan segala kepentingan yang terselubung dari berbagai pihak. Akhirnya,
polarisasi pun terjadi. Kita pasti tidak lupa, pilpres 2014 silam telah
memperjelas embrio polarisasi politik disebabkan kontestasi politik demokrasi
yang antagonis. Polarisasi politik, seperti konflik dalam masyarakat, adalah
suatu yang melekat dalam proses demokrasi. Fenomena polarisasi politik akibat
perbedaan pilihan politik tidak akan pernah memudar walaupun pemilu sudah usai.
Sebaliknya, tumbuh makin subur daalm demokrasi di tingkat nasional dan lokal, bahkan pada level internasional sekalipun sebab hal ini telah menjadi watak
bawaan dari demokrasi itu sendiri. Terlalu lama rasanya melihat semrawutnya
implementasi dari kebijakan setengah hati. Namun jika dimaklumi kubangan
demokrasi membuat syahwat kekuasaan lebih mendominasi daripada nurani.
Terlepas dari adanya intervensi demokrasi dalam
ekonomi, politik, sosial dan budaya maka patut direnungkan kembali apakah
sistem ini mampu menjadikan Indonesia lebih baik? Kenyataannya, sejak Indonesia
merdeka, mulai dari rezim Soekarno hingga Jokowi, kehidupan masyarakat makin
sulit saja. Walhasil, pertanyaan mendasarnya adalah mengapa meski rezim terus
berganti, semua pemimpin terpilih malah menetapkan kebijakan yang menzalimi
rakyat?
Secara ringkas, prinsip utama demokrasi adalah
kedaulatan rakyat(1), dimana rakyat diberi hak untuk membuat undang-undang
serta memilih pemimpin untuk menjalankan undang-undang tersebut. Demokrasi
hanya menjadikan sesuatu itu legal atau ilegal, jika disetujui oleh mayoritas
manusia yang duduk di parlemen dengan menjadikan manusia sebagai pembuat hukum.
Ketika manusia jadi pembuat hukum, yang terjadi hukum hanya berpihak kepada segelintir
manusia dan menyengsarakan sebagian besar manusia lainnya. Kedua, demokrasi
yang terjadi adalah penjajahan(2), awalnya demokrasi memberikan kesempatan
kepada rakyat untuk membuat aturan dan memilih pemimpin yang mereka kehendaki.
Namun kenyataannya yang terjadi adalah sekelompok kecil rakyat yang memiliki
uang dan kekuasaan melakukan berbagai rekayasa, sehingga semua aturan dan
pemimpin selalu mengabdi kepada kepentingan mereka. Atau dengan kata lain yang
terjadi adalah penjajahan sebagian kecil terhadap sebagian besar lainnya.
Bagaimana pun juga rakyat kondisinya beragam, ada yang miskin, berkecukupan
kaya, bahkan sangat kaya sampai menguasai industri media dan industri strategis
lainnya. Ketika demokrasi membuka pintu seluas-luasnya kepada rakyat untuk
menentukan jalannya negara, sangat mudah ditebak kelompok yang sangat kaya tadi
tidak akan tinggal diam. Mereka akan terus berusaha untuk menjaga dan
mengembangkan kepentingannya. Akhirnya demokrasi berubah total dari kedaulatan
rakyat menjadi kedaulatan konglomerat. Hanya
ada satu syarat agar penjajahan berjalan mulus, negara-negara yang akan dijajah
juga harus menerapkan demokrasi. Alasannya sederhana, jika demokrasi terbukti
menguntungkan mereka di luar negeri, maka pasti juga berhasil menguntungkan
diluar negeri. Akhirnya dengan pelbagai cara mereka berupaya sekuat tenaga agar
demokrasi terus menjadi sistem operasi baku di setiap negara. Ketiga, demokrasi
menyuburkan korupsi berjamaah(3), seperti yang kita ketahui dalam demokrasi
rakyat memilih calon-calon pemimpin legislative dan eksekutif. Agar terpilih,
mereka membujuk dan merayu rakyat melalui program kampanye pemilu yang sangat
mahal sehingga kebutuhan dana kampanye yang besar inilah yang kemudian jadi
sumber persoalan. Selain itu, korupsi juga menjangkiti lembaga yudikatif yang
biasanya terjadi ketika lembaga ini sedang mengadili persengketaan antar calon
kepala daerah. Salah satu pihak yang bertikai menyuap hakim agar dialah yang
dimenangkan.
Maka tidak mengherankan lagi, sebenarnya hanya
dengan melihat sejarah lahirnya demokrasi, kita sudah punya alasan kuat untuk
membuangnya. Karena jika masih mengadopsi demokrasi sama halnya seperti kita
melihat orang sehat yang menginjeksi racun kemoterapi ke tubuh sendiri. Demokrasi
juga tidak memberikan apapun kecuali kerusakan luar biasa. Kerusakan demi
kerusakan inilah yang sekarang melumat negeri-negeri, termasuk Indonesia. Sengsara disebabkan dieksploitasi penjajah dan nista karena dicabik-cabik
korupsi berjamaah.
“Demokrasi adalah bentuk
pemerintahan yang sangat mengagumkan--untuk anjing”
-
Edgar Allan Poe
-