Ketua Umum Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII), Nasrullah Larada, menegaskan munculnya berbagai pernyatan bersahutan yang dilontarkan oleh beberapa ketua umum partai politik untuk menunda pemilu, menunjukkan bahwa sistem demokrasi di Indonesia masih dikuasai oleh kelompok tertentu yang mengatasnamakan rakyat. Pemerintahan yang dikuasai oleh kelompok tertentu dalam mengatur dan menjalankan sistem kepemerintahan dan kenegaraan, dalam khasanah ilmu politik lazim disebut oligarki.
"Semua rakyat Indonesia sangat paham dan tahu bahwa pemilihan umum baik itu Pilpres, Pileg maupun Pilkada, dilaksanakan setiap 5 tahun sekali sebagaimana termaktub dalam UUD dan UU lainnya. Meski dalam sejarah pemilu di indonesia, pernah juga dilaksanakan lebih atau kurang dari lima tahun, itupun dengan alasan yang sangat krusial,'' kata Nasrullah, di Jakarta, Sabtu (26/2/2022).
Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyebut elite politik malah sibuk berusaha melanggengkan kekuasaan di saat warga kesulitan dalam mendapatkan minyak goreng. Hal itu dikatakanya terkait wacana penundaan Pemilu 2024. Menurutnya, para elite seharusnya lebih fokus menyelesaikan masalah rakyat, seperti minyak goreng yang langka dan harga kacang kedelai sebagai bahan baku pembuatan tahu maupun tempe yang melonjak.
"Ini yang di atas kenapa memikirkan melanggengkan kekuasaan? Sedih sekali rasanya, bukan fokus bagaimana menghadirkan solusi minyak goreng yang langka dan mahal yang sulit didapatkan hari ini, tapi kok bicaranya melanggengkan kekuasaan," kata dia, dalam sambutannya di pelantikan DPD Demokrat Banten, melalui konferensi video, Sabtu (26/2).
Inilah fakta yang menjadikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah menjadi luntur sehingga timbullah fenomena apatis saat pemilu alias golput. Kecurangan pemilu memang bukan hal yang baru, bahkan keberadaannya dianggap konsekuensi logis sebagi proses menuju pendewasaan berdemokrasi.
Bahkan pasca reformasi berbagai persoalanpun tak kunjung terselesaikan. Tadinya banyak pihak berharap dari sistem politik yang demokratis akan melahirkan kesejahteraan dan kemaslahatan. Namun, yang muncul justru UU yang semakin liberal yang berpihak kepada pemilik modal. Ketika berbicara tentang demokrasi, kita berbicara tentang substansinya, yaitu kedaulatan rakyat. Di mana rakyat sepenuhnya berdaulat dalam memilih pemimpin, berdaulat dalam memilih aturan yang mereka inginkan.
Benarkah Demokrasi Berpihak Kepada Rakyat?
Sudah bukan rahasia lagi biaya politik dalam sistem demokrasi sangatlah mahal. Siapa yang bisa mengantarkan pemimpin untuk meraih kursi kekuasaan menjadi tuannya. Demokrasi hanya mengandalkan etika dalam berpolitik agar kerakusan ditampakkan dengan cara yang elegan, lahirlah oligarki yang menguasai tampuk kekuasaan. Inilah mengapa pemilu yang bersih tidak akan mungkin bisa diwujudkan selama sistem demokrasi menjadi pijakan. Para cukong dan pemodal asing yang bisa membiayai biaya politik yang mahal. Akibatnya, pemimpin tidak berdaya di hadapan orang-orang yang sudah membiayai aktivitas politiknya untuk meraih kekuasaan. Jadi tidak heran banyak pemimpin kita yang memilki kekayaan fantastis jumlahnya karena kedekatannya dengan para pemilik modal dengan memberi kemudahan pada pemodal untuk menguasai kekayaan milik rakyat sekaligus mengeksploitasi SDA milik ummat atau bahkan mereka sendiri yang menjadi pemodal. Jadi jangan heran jika kita jumpai pejabat publik yang sekaligus sebagai pengusaha.
Rakyat disuruh prihatin dengan berbagai problematika yang terjadi, mulai dari ekonomi, pendidikan, kesehatan hingga kebutuhan dasar sekalipun. Inilah hasil presentasi dari sistem ini, berpihak pada rakyat hanyalah slogan kosong tanpa bukti nyata. Rakyat sudah muak diperalat dan saatnya rakyat butuh solusi hakiki dengan sebuah sistem yang akan berpihak pada rakyat.
Kemorosotan dan Kerancuan Berfikir
Salah satu kemorosotan berfikir yang dialami rakyat/umat ketika mereka tidak mampu membedakan mana ide-ide netral, dan mana ide-ide turunan akidah tertentu. Sehingga sesuatu yang harusnya ditolak justru diterima, dan sesuatu yang boleh diterima justru ditolak. Bahkan banyak rakyat masih gamang tidak bisa membedakan mana ide-ide netral yang boleh diterima, mana ide-ide yang berasal dari akidah selain islam yang harus ditolak, termasuk dalam menilai demokrasi. Sehingga banyak yang menyangka ia adalah netral dan ini merupakan sebuah kesalahan fatal. Inilah pola pikir yang didogmakan pengusung demokrasi kepada masyarakat. Sekalipun demokrasi belum memiliki negara ideal dan konsepnya belum final, tetapi pemujanya menganggap inilah satu-satunya jalan menuju kehidupan yang lebih baik. Kerusakan demokrasi berasal dari pijakan dasarnya yakni menjadikan suara rakyat sebagai suara tuhan. sehingga aturan yang dipakai dalam menjalani kehidupan adalah aturan buatan manusia yang di mana demokrasi mampu meyakini manusia sebagai pembuat hukum, bukan tuhan sedangkan kita mengetahui bahwasanya manusia mempunyai kekurangan-kelebihan, bersifat lemah dan terbatas. .
Dengan demikan, apa yang membuat kita masih percaya dan mau mempertahankan demokrasi ? Setelah kita mengetahui betapa bobrok dan busuknya sistem yang dijadikan mercusuar negri kita. Rasanya sudah cukup ratusan hingga ribuan fakta yang kita lihat dan alami menyadarkan kita akan kerusakan sistem ini. Maka cara untuk berlepas diri dari sistem demokrasi ini adalah dengan tidak membenarkannya, menyebarluaskannya atau mendiamkannya tapi menggantinya dengan sistem yang telah terbukti keshahihannya membawa ummat pada kesejahteraan yang hakiki yakni sistem islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar